Selasa, 19 Maret 2013

Teori Realisme


BAB II
REALISME DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL

A.     Asumsi – Asumsi Realisme
           Dalam perspektif Morgenthau realisme identik dengan power, sehingga power merupakan kontrol manusia terhadap pikiran dan tindakan manusia yang lain. Power harus dipahami dalam hubungan dengan negara lain, jadi bukan dalam situasi vacuum. power sifatnya relatif karena dilihat dari komparatisasi dengan kekuatan negara lain[1]. Pengertian yang lebih kompleks adalah power sebagai prestige yakni kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan,bukan dengan senjata atau ancaman pengunan senjata melainkan melalui pengaruh diplomasi dan otoritas.[2]
           Dilain aspek para kaum neo-realis menyamakan power dengan kapabilitas dimana kapabilitas tersebut dapat dirangking menurut kekuatannya dalam ukuran  penduduk dan wilayah, sumber dana, kemampuan militer, stabilitas dan kompetisi politik.[3] Dalam realisme klasik negara – negara masih dianggap memiliki tujuaan dan aspirasi politik luar negeri sendiri dan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh distribusi kekuasan pada struktur internasional seperti yang diasumsikan oleh kaum neo-realis.
           Morgenthau menyadari bahwa negara  memiliki contextual imperative yang sering dihubungkan dengan  posisi geografis, sejarah , ekonomi dan politik. Morgenthau juga menjelaskan pentingnya peran individu (leader) dalam politik luar negeri dan juga pentinganya karakter nasional sebagai salah satu aspek kekuatan nasional yang mempengaruhi politik luar negeri.[4]
           Dalam realisme kita mengenal dengan nama tiga S yang merupakan asumsi-asumsi realisme yang pertama : (a) statism; (b) survival; (c) help-selp. Dalam pandangan realisme bahwa state adalah aktor utama dalam hubungan internasional yang anarkhis. Asumsi ini berasal dari kenyataan bahwa untuk survive dan mencapai level subsistem manusia perluh hidup bersatu berdasarkan suatu solidaritas kelompok.[5] Kohesi dalam group ini  juga berpotensi untuk berkonflik dengan kelompok-kelompok lain.
           Sehingga state merupakan pengelompokan manusia (groupism) yang paling penting dewasa ini, sumber kohesi in-group yang paling kuat adalah nasionalisme. Sementara itu aktor-aktor lain dinilai kurang penting, karena negara sebagai satu komunitas politik  yang independen mempunyai kedaulatan terhadap suatu wilayah dalam dunia yang anarkhis.
           Dalam perspektif realis arti kata anarkhis bukan benar-benar chaos dan tidak ada aturan, tetapi ketiadaan kekuasaan sentral.[6] Berbeda dengan struktur organisasi dalam politik domestik yang hirarkis, dalam hubungan internasional, struktur dasarnya adalah anarkhis dimana mana-mana negara adalah berdaulat dan menganggap kekuasaan tertinggi ada di tangan  mereka dan tidak mengenal kekuasan tertinggi diatas mereka. Dimana state diasumsikan seperti black-box yang mewakili keseluruhan kepentingan suatu negara.[7]
           Ide tentang negara yang utuh dan berdaulat ini berasal dari definisi Weber yaitu ‘monopoli terhadap pengunaan kekuatan fisik secara sah dalam suatu wilayah’. Dalam teori kedaulatan Barat ,diasumsikan bahwa persoalan dalam negeri ini sudah terselesaikan dan negara berhasil mengamankan berbagai masalah dalam negeri. Dalam konteks internasional yang anarkism prioritas politik luar negeri  negara-negara menjaga kelangsungan hidupnya (survival) dari ancaman negara lain, yang juga merupakan  inti dari kepentingan  nasional.
           Realis tidak percaya pada universalitas moral, kalaupun ada itu hanya berlaku relatif untuk suatu masyarakat tertentu saja. Wohlforth mengatakan bahwa negara seringkali harus bertindak egois, terutama bila dihadapkan pada pilihan kepentingan diri dan kepentingan kolektif. Ini juga merupakan sifat dasar manusia sebagaimana yang diungkapkan dalam adaguim klasik realis : ‘Inhumanity is just humanity under pressure’(Kekejaman berartih kemanusian berada dibawah tekanan).
           Dalam keadan yang anarkhis tiap negara harus menolong dirinya sendiri (self - help), negara tidak boleh percaya  pada negara lain atau organisasi internasional, tetapi harus mencari cara sendiri, terutama meningkatkkan kekuatan militernya, karena struktur internasional tidak mengizinkan adanya persahabatan, kepercayaan dan kehormatan, yang ada hanyalah ketidak pastian yang abadi karena tiadanya pemerintahan global.[8]. Walaupun  penting  untuk menilai apakah negara lain merupakan negara revisionis yang ingin mengubah balance of power  atau pro status quo yang tidak ingin mengubah keadaan itu secara militer, namun adalah susah untuk  memastikan intensi atau maksud suatu negara  secara empirik. Cara terbaik adalah memperkuat diri sehingga negara lain tidak berani menyerang.
           Eksistensi demikian bisa dicapai melalui keseimbangan kekuatan dan interaksi terbatas, tetapi pendirian negara tetap lebih untuk kepentingan dirinya sendiri daripada negara lain. Disini terjadi security dilemma  yang lebih sering terjadi pada negara negara besar daripada negara  kecil karena peningkatan kekuatan militer mereka akan selalu mendorong  meningkatkan kekuatan negara besar yang lain. Keamanan bagi negara lain berartih ketidakamanan bagi negara sendiri[9].
B.     Prinsip – Prinsip Realisme
               Pertama, Realisme politik menganggap bahwa politik, seperti masyarakat umumnya dikendalikan oleh hukum-hukum objektif yang berakar pada hakikat manusia. Sehingga untuk memperbaiki masyarakat, yang pertama-tama perluh ialah memahami hukum yang mengatur kehidupan masyarakat,karena cara kerja hukum ini tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang lebih banyak menurut pilihan kita, orang akan menantangnya dengan risiko kegagalan belaka[10].
               Realisme memang percaya pada objektifitas hukum politik, tapi harus pula percaya kemungkinan untuk mengambarkan teori rasional yang mencerminkan hukum objektif tadi. Realisme, percaya juga pada kemungkinan dalam politik untuk  membedakan antara kebenaran dan pendapat antara yang benar secara rasional dan benar secara objektif, didukung oleh bukti dan diperjelas dengan alasan. Realisme dalam sudut pandang Morgenthau menjelaskan bahwa hakikat manusia, yang didalamnya terkandung akar-akar hukum politik,tidak berubah sejak filasafat klasik dari china, India, dan Yunani berusaha keras menemukan hukum-hukum tadi.     
               Oleh sebab itu , dalam teori politik bukanlah keharusan, bahwa sesuatu yang baru  mempunyai sifat yang baik dan sesuatu yang sudah lama bukan pula sesuatu yang lemah. Fakta teori politik, sekiranya itu ada belum pernah ada sebelumnya, cenderung menimbulkan praduga dan bukan dukungan terhadap keandalannya. Sebaliknya,  kenyataan teori politik sudah dikembangkan beratus bahkan beribu tahun yang lalu seperti halnya dengan teori perimbangan kekuasaan (balance of power) tidak menimbulkan praduga, bahwa teori itu tentunya sudah ketinggalan zaman dan usang. Teori politik harus tunduk pada uji-ganda atas cara berpikir dan pengalaman.Berartih bukanya menyajikan argument yang rasional, akan tetapi praduga yang sesuai dengan zaman sekarang ( modernistik ), yang menanggap sudah semestinya keadaan sekarang mengunggli keadan masa lampau.
               Untuk realisme, teori terdiri pemastian fakta dan pemberian artih melalui kemampuan berpikir. Realisme menganggap, bahwa sifat politik luar negeri hanya dapat dipastikan melalui pemerikasan tindakan-tindakan politik yang dilakukan dan akibat  yang dapat diduga  dari tindakan-tindakan itu. Dengan demikian, kita dapat mengetahui apa yang sesungguhnya dilakukan oleh para negarawan, dan dari akibat tindakan-tindakan  mereka yang dapat diduga, kitapun dapat mengira apa yang mungkin menjadi tujuan mereka.
              Kedua, Petunjuk utama realisme yang membantu realisme politik untuk menemukan jalannya melintasi bentangan alam politik internasional ialah konsep kepentingan yang diartikan dalam istilah kekuasaan[11]. Konsep ini merupakan penghubung antara pemikiran yang berusaha memahami politik internasional dan kenyataan yang harus dipahami. Konsep ini menentukan politik sebagai lingkungan tindakan dan pengertian yang berdiri sendiri  (otonom) terpisah dari lingkungan lainnya. Seperti ilmu ekonomi (dipahami dalam arti kepentingan yang didefinisikan sebagai kekayaan), etika, estetika, atau agama. Tanpa konsep demikian, teori politik, internasional atau dalam negeri sama sekali tidak akan mungkin. Tanpa konsep kita tidak dapat membedakan antara fakta politik dan non-politik,  dan kita tidak dapat pula membawa, sekurang-kurangnya sesuatu taraf keteraturan sistemik untuk lingkungan politik.
              Kita menganggap, bahwa negarawan berpikir dan bertindak dalam pengertian kepentingan  yang didefinisikan sebagai kekuasan, dan bukti sejarah menguatkan anggapan itu.  Anggapan tersebut memungkinkan kita untuk  menyelidiki kembali  dan membayangkan, sedikit banyaknya langkah-langkah negarawan di kancah politik dimasa lampau, masa sekarang, atau masa depan yang telah atau akan diambilnya.[12] Dengan berpikir dalam istilah kepentingan yang didefinisikan sebagai kekuasaan, kita berpikir seperti negarawan itu dan sebagai penagamat yang tidak berat sebelah, mungkin kita dapat memahami pemikiran dan tindakannya dengan baik dibandingkan kalau ia sendiri, yang melakukannya sebagai pemeran di pentas internasional.
              Memang benar bahwa pengetahuan tentang alasan  negarawan dapat memberikan kepada kitasalah satu dari banyak petunjuk tentang kemungkinan  arah politik luar negerinya. Akan tetapi justru tidak dapat memberikan kepada kita yang satu itu untuk meramalkan politik luar negerinya, Sejarah tidak menunjukan korelasi (hubungan) yang pasti dan penting antara kualitas motif dan kualitas politik luar negeri. Politik peredaan (appeasement) yang dilakukan oleh Neville Chamberlain, sejauh dapat kita nilai , diilhami oleh motif yang baik ia mungkin lebih sedikit didorong oleh perimbangan kekuasaan pribadi dibandingkan dengan banyak perdana menteri Inggris lainnya.
              Politik Internasional menurut penganut realis, akan menghindari pula pemikiran yang keliru lainnya yang digemari untuk menyamakan dengan politik luar negeri negarawan dengan simpatinya yang filosofis ataupun politis, serta kesimpulan umum yang ditarik dari awal ke yang terakhir.[13] Realisme politik tidak memerlukan  dan tidak pula mengampuni, sikap tidak acuh terhadap cita – cita politik  dan prinsip moral, akan tetapi realisme politik memang  memerluhkan perbedaan tajam antara yang diinginkan dan yang mungkin. – antara yang diinginkan dimana dan kapan saja, dan  mungkin menurut keadaan waktu dan tempat yang konkret.
              Sudah sewajarnya, kalau semua politik luar negeri tidak selalu mengikuti arah yang begitu rasional, objektif, dan tanpa emosi. Unsur-unsur yang berupa kemungkinan seperti kepribadian, praduga dan kesenangan subjektif, serta semua kelemahan intelek dan kehendak yang merupakan warisan insani, pasti akan membelokan arah politik luar negeri dari arahnya yang rasional. Terutama , kalau politik luar negeri dijalankan  dalam kondisi  pengendalian yang demokratis, maka kebutuhan mengalang emosi rakyat untuk mendukung politik luar negeri, tidak boleh gagal untuk menghalangi rasionalitas politik luar negeri itu sendiri.
              Namun teori politik luar negeri yang bertujuan rasionalitas, boleh dikatakan , untuk sementara harus dipisahkan dari unsur-unsur yang tidak rasional. Penyimpangan rasionalitas yang bukan merupakan hasil tingkah laku pribadi atau psikopatologi dari pembuat kebijakan,hanya mungkin kelihatan dari posisi yang menguntungkan rasionalitas, akan tetapi penyimpangan itu sendiri, mungkin merupakan unsur dari sistem yang saling berkaitan ( koheren ) dari keadaan yang tidak masuk akal.[14] Kemungkinan, boleh dikatakan, untuk menyusun sebuah teori tandingan dari politik yang tidak berdasarkan akal sehat. Kalau kita membayangkan perkembangan pemikiran orang Amerika tentang politik luar negeri, kita terkesan atas kegigihan sikap keliru yang dapat bertahan – dengan kedok apapun – argumen intelektual maupun pengalaman politik. Begitu keajaiban itu dalam gaya Aristoteles yang asli diubah menjadi pencarian untuk pengertian rasional.
              Ketiga, Realisme menganggap, bahwa konsep utamanya tentang kepentingan, yang ditegaskan sebagai kekuasaan merupakan kategori objektif yang berlaku secara universal, tetapi tidak memberi sifat pada konsep itu  dengan artih yang sudah ditentukan secara definitif. Ide kepentingan merupakan intisari politik dan tidak terpengaruh oleh keadaan waktu dan tempat. Pernyataan Thucydides, yang berasal dari pengalaman Yunani kuno, bahwa “identitas kepentingan, merupakan ikatan yang paling kuat, apakah antara negara atau perorangan” dipakai  diabad ke-19 dalam ucapan Lord Salisbury, bahwa “satu satunya ikatan perserikatan yang bertahan lama” diantara bangsa-bangsa ialah : tidak adanya kepentingan yang berbenturan seluruhnya.
              Pernyataan ini dimuat oleh George Washington di dalam prinsip umum pemerintahan. Max Weber dalam kutipannya menjelaskan bahwa  “kepentingan  ( material dan ideal ), bukan ide – ide, langsung menguasai tindakan manusia. Namun citra dunia yang diciptakan oleh ide – ide itu sering bertindak sebagai tombol yang menentukan jalur untuk ditempuh oleh dinamisme kepentingan supaya selalu bergerak.[15] Realisme politik, tidak menganggap bahwa keadaan yang kontemporer yang ada disaat politik luar negeri, diselenggarakan dengan ketidakmantapan yang mencolok dan ancaman kekerasan yang selalu ada secara besar-besaran, tidak dapat diubah.
              Kalau seorang realis memang percaya, bahwa kepentingan merupakan norma yang berlangsung terus dan yang dipakai untuk menilai serta mengarahkan tindakan politik, hubungan kontemporer antara kepentingan dan negara bangsa, merupakan produk sejarah, dan oleh sebab itu harus lenyap dalam perjalanan sejarah. Kaum realis diyakinkan bahwa perubahan ini hanya dapat dicapai melalui manipulasi yang rapih dari kekuatan-kekuatan yang bertahan lama yang telah membentuk masa lampau sebagaimana pula akan membentuk masa depan.  Kaum realis tidak dapat dipengaruhi bahwa kita dapat mengadakan perubahan itu dengan menentang realitas politik yang mempunyai hukum-hukumnya sendiri dengan cita-cita abstrak yang menolak memperthitungkan  hukum – hukum tersebut.
              Keempat, Realisme politik menyadari pentingnya moral dari tindakan politik. Realisme politik menyadari pula, ketegangan yang tak bisa dihindarkan antara perintah moral, dan syarat-syarat dari tindakan politik yang berhasil. Realisme politik tidak mau mengabaikan atau melenyapkan ketegangan tersebut, dan dengan demikian mengaburkan baik masalah moral maupun politik, dengan menampilkan seolah–olah  fakta politik yang keras secara moral lebih memuaskan daripada keadaan yang sebenarnya. Dan hukum  moral yang kurang tepat menurut keadaan sesungguhnya.[16] Realisme politik  mempertahankan bahwa prinsip moral yang universal tidak dapat diterapkan pada tindakan tindakan  negara perumusan universal mereka yang abstrak, akan tetapi akan tetapi harus disaring melalui keadaan, waktu, dan tempat yang konkret.
              Kita dapat menyatakan  pada diri kita sendiri : “Fiat justitia ,pereat mundus”(Biarkan keadilan berlaku sekalipun dunia binasa”. Realisme meganggap kebijaksanaan pertimbangan atas konsekuensi alternate tindakan politis – sebagai kebajikan tertinggi dalam politik. Etika secara abstrak menilai tindakan menurut kecocokannya dengan hukum dan moral politik menilai tindakan konsekuensi politiknya. Filasafat klasik  dan abad pertengahan  mengenal ini dan begitu pula Lincoln ketika ia berkata:
“Kulakukan  kuketahui sungguh terbaik, yang menurut kempuanku  sungguh terbaik dan aku bermaksud untuk berbuat demikian sampai detik terakhir. Jika pada akhirnya membawahku pada yang benar, apa yang dikatakan padaku tidak berartih  apapun. Tetapi jika membawahku pada yang salah, walau sepuluh malaikatbersumpah bahwa aku benar, tidak berartiha apa-apa.”
              Kelima, Realisme politik menolak mengidentifikasi cita cita moral bangsa tertentu, dengan hukum hukum moral yang menguasai alam semesta. Seperti realisme politik mengadakan kebenaran antara kebenaran dan opini, demikian juga dibedahkannya antara kebenaran dan pemujaan yang berlebihan. Semua bangsa tergoda dan sedikit yang mampu menahan godaan untuk waktu yang lama untuk menutupi cita cita dan tindakan khusus mereka sendiri dalam tujuan moral alam semesta.Untuk  mengetahui bahwa bangsa-bangsa tunduk pada  pada hukum moral adalah satu soal, sedangkan berpura-pura mengetahui dengan pasti apa yang baik dan apa yang jahat. [17]
              Dalam hubungan antara bangsa – bangsa, adalah lain sama sekali. Terdapat perbedaan yang banyak sekali antara kepercayaan, bahwa semua bangsa tunduk pada keputusan Tuhan, sukar dimengerti oleh pikiran manusia dan keyakinan, yang bersifat penghinaan dan tidak benar, bahwa Tuhan selalu ada disisi seseorang. Dan apa yang diinginkan seseorang, pasti akan diputuskan oleh Tuhan juga. Sebaliknya, justru konsep kepentingan yang ditegaskan  dalam artih kekuasaan, yang menyelamatkan kita dari akses moral atau kebodohan politik, sebab kalau kita melihat pada semua bangsa, termasuk kita sendiri, sebagai wujud politik yang mengejar kepentingan mereka masing - masing yang ditegaskan dalam artih kekuasaan.
              Keenam, Perbedaan antara realisme politik, dengan mazhad pemikiran lain adalah nyata dan menyeluruh. Akan tetapi banyak dari realisme politik mungkin disalah artihkan dan disalah tafsirkan, tidak  ada yang menyangkal sikap intelektual dan moralnya yang khusus, terhadap masalah yang bersifat politik.[18] Secara intelektual kaum realis mempertahankan otonomi dunia politik.
Kaum realis dalam politiknya, bukan tidak menyadari eksistensi dan relevansi mengenai politik. Sebagai seorang realis dalam politik, ia terpaksa menempatkkan norma lain tadi, lebih rendah dari norma politik. Dan ia melepaskan mazhad lain, kalau mazhad itu  memaksaklan standar pemikiran dunia politik yang sesuai dengan dunia lainnya. Disini realisme tidak sependapat dengan “pendekatan legalistik moralistik” (menurut hukum dan moral) terhadap politik internasional.
Jadi teori yang mencoba memahami politik internasional, menurut
keadaan sebenarnya dan sebagaimana seharusnya berhubungan dengan hakikat intrisiknya, dan bukan sebagaimana individu ingin melihatnya harus mengatasi perlawanan psikologi.[19] Realisme politik yang menyamakan power dengan kekuasaan juga dapat dikatakan kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku.[20] Akan tetapi para Sarjana lain mengatakan kekuasaan sebagai inti dari politik, karena politik adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Biasanya dianggap perjuangan kekuasan  (power struggle) ini mempunyai tujuan yang menyangkut kepentingan  seluruh masyarakat.


C .  Realisme Dalam Hubungan Internasional
                Dalam hubungan internasional salah satu yang paling esensial adalah power, dimana konsep ini banyak diimplementasikan dalam lingkungan politik internasional yang berkembang pasca perang dunia II.[21] Sehingga  power merupakan pendekatan yang banyak berpengaruh dalam hubungan internasional. Para realis memperlakukan state sebagai aktor yang rasional yaituh mengikuti prinsip mengejar, melindungi, dan mempertahankan kepentingan nasionalnya, yang didefinisikan sebagai kekuasaan sesuai dengan kemampuan dan keterbatasannya di dunia internasional.[22]
                Berdasarkan hal ini, tidak perluh ada analisis tentang  politik luar negeri negara-negara itu, karena ia otomatis sudah dijelaskan oleh asumsi power dan juga anarkhi dalam dunia internasional, atau dengan kata lain negara tidak punya pilihan lain dalam menentukan politik luar negeri. Walaupun demikian, sekecil apapun peran negara, mereka tetap melakukan dan memutuskan suatu kebijakan untuk memaksimalkan kepentingan nasional mereka.[23] Karena itu kita tetap perluh membahas pilihan - pilihan negara, walaupun terbatas pada menu yang memang sudah disediakan dan semacam sudah tertulis dalam struktur internasional.[24]
                Menurut E.H.Carr realisme itu ada, karena merupakan reaksi terhadap idealisme, yang menghasilkan sejumlah karya yang sangat berpengaruh dalam hubungan internasional yang menandai munculnya realisme. Carr mengkritik terhadap asumsi idealisme, dengan alasan bahwa peristiwa tragis pada tahun 1930-an, menjadi saksi kerapuhan lembaga-lembaga internasional.[25]
                Thucydides mengatakan bahwa ide-ide yang membimbing dan asumsi-asumsi realisme berakar dalam tradisi pemikiran masyarakat pada perang negara kota Yunani dari Athena dan Sparta. Thucydides mengunakan perang untuk menunjukan bagaimana kekuasaan logika mengejar kekuasaan dan kepentingan nasional. Karakter antar bangsa dan konflik lebih dominan daripada kerjasama atau tindakan yang dipandu oleh prinsip moral yang tinggi.[26] Teori realisme dalam buku “ International Relation Perspective and Times” memiliki asumsi-asumsi sebagai berikut : (1) pada dasarnya manusia adalah egois, negara seperti manusia yang bertindak dengan cara sendiri; (2) Negara merupakan aktor sentral. Oleh karena itu studi hubungan internasional adalah studi tentang negara dan bagaimana mereka berinteraksi.[27]
                Dua hal penting yang dikatakan tentang negara ialah : (a) kedaulatan negara. Untuk itu kedaulatan adalah kunci dalam konsep hubungan internasional; (b) kebijakan negara menjadi motivasi oleh kepentingan nasional. Mereka melakukan kebijakan luar negeri untuk mencapai tujuaan ini; (3) power merupakan kunci untuk memahami perilaku internasional dan motivasi negara; (4) hubungan internasional tak bisa terpisahkan dengan konflik. Klaim ini menjadi salah satu dasar dari tiga alasan yang berbeda;[28]
(a) manusia menjadi egois dan bertindak berdasarkan keinginan sendiri sehingga menyebabkan kerusakan dan menyebabkan konflik. Manusia pada hakekatnya tidak berubah dan tidak ada bentuk prospek yang akan berubah dar perilaku manusia; (b) pada tingkat negara, hubungan dibangun sedemikian sehingga untuk mencapai kepentingan nasional dan mengarahkan pada perselisihan nasional ( sewaktu perang ) dengan negara lain; (c) masalah bukan salah satu sifat alami manusia, tetapi pusat kekuasaan dalam dunia internasional.[29]
                Menurut Dunne dan Schmidt asumsi-asumi realisme dikelompokan dalam 3S : statism, survival, self-helps. Mereka menyatakan bahwa state adalah aktor utama dalam hubungan internasional yang anarkhis. Asumsi ini berasal dari kenyataan bahwa untuk survive dan mencapai level subsistem manusia perluh hidup bersatu berdasarkan suatu solidaritas kelompok[30]. Sementara itu, aktor-aktor yang lain dinilai kurang penting. Negara sebagai satu komunitas politik yang independen, mempunyai kedaulatan terhadap suatu wilayah dalam dunia yang anarkhis.[31] Perluh dijelaskan bahwa anarkhis bagi realis bukan keadaan benar-benar chaos dan tidak ada aturan, tetapi ketiadaan kekuasaan sentral.[32]
                Realis tidak percaya pada universalitas moral; kalaupun ada, itu hanya berlaku relatif untuk suatu masyarakat tertentu saja. Dengan kata lain dalam pandangan Wohlforth, negara seringkali harus bertindak egois, terutama bila dihadapkan pada kepentingan diri dan kepentingan kolektif. Ini juga merupakan sifat dasar manusia sebagaimana diungkapkan dalam adagium klasik realis : Inhumanity is just humanity under pressure (kekejaman berarti kemanusian berada di bawah tekanan).[33] Dalam keadaan yang anarkhis ini, tiap negara harus menolong dirinya sendiri (self-helps). Negara tidak boleh percaya pada negara lain atau organisasi internasional, tapi harus mencari cara sendiri, terutama meningkatkan kekuatan militernya. Karena struktur internasional tidak mengizinkan adanya persahabatan, kepercayaan, dan kehormatan, yang ada hanyalah kondisi ketidakpastian yang abadi.[34]
C.    Karateristik Politik Luar Negeri Indonesia
              Politik luar negeri merupakan suatu pola kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan untuk beradaptasi dengan lingkungan internasional. Lingkungan internasional itu bisa berupa negara lain, situasi internasional, maupun badan - badan internasional.[35] Menurut Modelski, politik luar negeri merupakan sistem aktivitas suatu negara untuk mengubah perilaku negara lain, dan untuk mengatur aktivitas negara itu sendiri dalam linkungan internasional. Politik luar negeri, mempelajari faktor – faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi formulasi tindakan, sikap, atau kebijaksanaan suatu negara terhadap lingkungan internasional.
              Politik luar negeri Indonesia,
             

        









[1] Abubakar Eby. Hara, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri dari Realisme sampai Konstrutivisme  ( Bandung : Nuansa, 2011 ), hal.38
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid,hal.39
[5] Op.Cit
[6] Op.Cit hal.35
[7] Ibid,hal.36
[8] Ibid.
[9] Abubakar Eby.Hara, ibid, hal.37

[10]Hans.J.Morgenthau, Politik antar bangsa, (Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2010), hal.4
Yang dimaksud oleh Morgenthau ialah dia menyamakan antara realisme dengan masyarakat dimana dalam setiap aktivitas dikendalikan oleh hukum-hukum , untuk itu sangat penting untuk kita memahami hukum dahulu dalam melakukan suatu kegiatan. ( politik luar negeri ataupun politik internasional ).
[11] Ibid,hal. 5
[12] Hans.J.Morgenthau, ibid, hal.6
Maksud dari kutipan tersebut ialah apabila kamu ingin memahami tentang kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin dalam implementasi politik luar negeri maka kamu juga harus berpikir sebagai pemimpin yang sedang membuat kebijakan dalam melakukan politik luar negeri.

[13] Ibid, hal .7
[14]Ibid, Hal.8
[15] Hans.J.Morgenthau,ibid,  hal.13
[16] Ibid,hal.14
[17]Hans. J. Morgenthau,Ibid,hal.15
[18] Hans. J. Morgenthau,Ibid,hal.16
[19] Ibid,hal.19
Maksudnya adalah bahwa teori politik internasional merupakan teori yang tidak mengedepankan prinsip  legalitas moralistik dalam mencapai tujuan nasional untuk itu teori politik internasional harus berlawanan dengan psikologis dan hal itu secara realitas terjadi dalam hubungan internasional  Raja Louis ke XI ketika mengirim Dutabesar ke Inggris ia berpesan “apabila mereka membohongimu,perhatikanlah itu dan berbohonglah lebih daripada mereka”.
[20] Miriam.Budiarjo,Dasar-dasar ilmu politik, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,2008),hal.18
[21] Umar.S.Bakry,Pengantar hubungan internasional,(Jakarta:Jayabaya University Press,1999),hal.64
[22] Abubakar Eby.Hara,ibid.hal.34
Maksudnya adalah bahwa dalam implementasi politik luar negeri setiap negara tak perluh dianalisis karena hal itu berlaku secara otomatis yang berkonsentrasi pada power dalam dunia yang anarkhis tampa tidak memperhitungkan luas wilayah dari negara tersebut , karena yang paling fundamental  ialah power yang dimilikinya yang mempengaruhi politik luar negerinya.

[23] Ibid, hal 35
[24] Ibid
[25] Jill Steans & Lloyd Pettiford, International Relation Perspective and Times (Malaysia:LSP,2001), hal.24
[26] Ibid, hal.26
[27] Ibid, hal.28
Negara merupakan aktor yang paling penting dalam interaksi internasional karena negara memiliki kedaulatan yang bisa melakukan hubugan internasional dengan negara lain.
[28] Ibid, hal.28
[29] Ibid,hal.29
[30] Abubakar Eby. Hara, Ibid, hal.35
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Ibid, hal. 36
[34] Ibid.
[35] Umar.S.Bakry, Ibid, hal.125

Tidak ada komentar:

Posting Komentar