BAB
II
REALISME
DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
A.
Asumsi – Asumsi Realisme
Dalam perspektif Morgenthau realisme
identik dengan power, sehingga power merupakan kontrol manusia terhadap pikiran
dan tindakan manusia yang lain. Power harus dipahami dalam hubungan dengan
negara lain, jadi bukan dalam situasi vacuum. power sifatnya relatif karena
dilihat dari komparatisasi dengan kekuatan negara lain[1]. Pengertian
yang lebih kompleks adalah power sebagai prestige
yakni kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan,bukan dengan senjata atau
ancaman pengunan senjata melainkan melalui pengaruh diplomasi dan otoritas.[2]
Dilain aspek para kaum neo-realis
menyamakan power dengan kapabilitas dimana kapabilitas tersebut dapat
dirangking menurut kekuatannya dalam ukuran
penduduk dan wilayah, sumber dana, kemampuan militer, stabilitas dan
kompetisi politik.[3]
Dalam realisme klasik negara – negara masih dianggap memiliki tujuaan dan
aspirasi politik luar negeri sendiri dan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh
distribusi kekuasan pada struktur internasional seperti yang diasumsikan oleh
kaum neo-realis.
Morgenthau menyadari bahwa
negara memiliki contextual imperative yang sering dihubungkan dengan posisi geografis, sejarah , ekonomi dan
politik. Morgenthau juga menjelaskan pentingnya peran individu (leader) dalam politik luar negeri dan
juga pentinganya karakter nasional sebagai salah satu aspek kekuatan nasional
yang mempengaruhi politik luar negeri.[4]
Dalam realisme kita mengenal dengan
nama tiga S yang merupakan asumsi-asumsi realisme yang pertama : (a) statism; (b) survival; (c) help-selp. Dalam
pandangan realisme bahwa state adalah
aktor utama dalam hubungan internasional yang anarkhis. Asumsi ini berasal dari
kenyataan bahwa untuk survive dan
mencapai level subsistem manusia perluh hidup bersatu berdasarkan suatu
solidaritas kelompok.[5]
Kohesi dalam group ini juga berpotensi
untuk berkonflik dengan kelompok-kelompok lain.
Sehingga
state merupakan pengelompokan manusia
(groupism) yang paling penting dewasa
ini, sumber kohesi in-group yang
paling kuat adalah nasionalisme. Sementara itu aktor-aktor lain dinilai kurang
penting, karena negara sebagai satu komunitas politik yang independen mempunyai kedaulatan terhadap
suatu wilayah dalam dunia yang anarkhis.
Dalam
perspektif realis arti kata anarkhis bukan benar-benar chaos dan tidak ada aturan, tetapi ketiadaan kekuasaan sentral.[6]
Berbeda dengan struktur organisasi dalam politik domestik yang hirarkis, dalam
hubungan internasional, struktur dasarnya adalah anarkhis dimana mana-mana
negara adalah berdaulat dan menganggap kekuasaan tertinggi ada di tangan mereka dan tidak mengenal kekuasan tertinggi
diatas mereka. Dimana state
diasumsikan seperti black-box yang mewakili keseluruhan kepentingan suatu negara.[7]
Ide
tentang negara yang utuh dan berdaulat ini berasal dari definisi Weber yaitu ‘monopoli terhadap
pengunaan kekuatan fisik secara sah dalam suatu wilayah’. Dalam teori
kedaulatan Barat ,diasumsikan bahwa persoalan dalam negeri ini sudah
terselesaikan dan negara berhasil mengamankan berbagai masalah dalam negeri. Dalam
konteks internasional yang anarkism
prioritas politik luar negeri
negara-negara menjaga kelangsungan hidupnya (survival) dari ancaman negara lain, yang juga merupakan inti dari kepentingan nasional.
Realis
tidak percaya pada universalitas moral, kalaupun ada itu hanya berlaku relatif
untuk suatu masyarakat tertentu saja. Wohlforth mengatakan bahwa negara
seringkali harus bertindak egois, terutama bila dihadapkan pada pilihan
kepentingan diri dan kepentingan kolektif. Ini juga merupakan sifat dasar
manusia sebagaimana yang diungkapkan dalam adaguim
klasik realis : ‘Inhumanity is just humanity
under pressure’(Kekejaman berartih kemanusian berada dibawah tekanan).
Dalam keadan
yang anarkhis tiap negara harus menolong dirinya sendiri (self - help), negara tidak boleh percaya pada negara lain atau organisasi
internasional, tetapi harus mencari cara sendiri, terutama meningkatkkan
kekuatan militernya, karena struktur internasional tidak mengizinkan adanya
persahabatan, kepercayaan dan kehormatan, yang ada hanyalah ketidak pastian
yang abadi karena tiadanya pemerintahan global.[8].
Walaupun penting untuk menilai apakah negara lain merupakan
negara revisionis yang ingin mengubah balance
of power atau pro status quo yang tidak ingin mengubah
keadaan itu secara militer, namun adalah susah untuk memastikan intensi atau maksud suatu
negara secara empirik. Cara terbaik
adalah memperkuat diri sehingga negara lain tidak berani menyerang.
Eksistensi
demikian bisa dicapai melalui keseimbangan kekuatan dan interaksi terbatas,
tetapi pendirian negara tetap lebih untuk kepentingan dirinya sendiri daripada
negara lain. Disini terjadi security
dilemma yang lebih sering terjadi
pada negara negara besar daripada negara
kecil karena peningkatan kekuatan militer mereka akan selalu
mendorong meningkatkan kekuatan negara
besar yang lain. Keamanan bagi negara lain berartih ketidakamanan bagi negara
sendiri[9].
B. Prinsip – Prinsip Realisme
Pertama, Realisme politik menganggap bahwa
politik, seperti masyarakat umumnya dikendalikan oleh hukum-hukum objektif yang
berakar pada hakikat manusia. Sehingga untuk memperbaiki masyarakat, yang
pertama-tama perluh ialah memahami hukum yang mengatur kehidupan
masyarakat,karena cara kerja hukum ini tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal
yang lebih banyak menurut pilihan kita, orang akan menantangnya dengan risiko
kegagalan belaka[10].
Realisme
memang percaya pada objektifitas hukum politik, tapi harus pula percaya
kemungkinan untuk mengambarkan teori rasional yang mencerminkan hukum objektif
tadi. Realisme, percaya juga pada kemungkinan dalam politik untuk membedakan antara kebenaran dan pendapat antara
yang benar secara rasional dan benar secara objektif, didukung oleh bukti dan
diperjelas dengan alasan. Realisme dalam sudut pandang Morgenthau menjelaskan
bahwa hakikat manusia, yang didalamnya terkandung akar-akar hukum politik,tidak
berubah sejak filasafat klasik dari china, India, dan Yunani berusaha keras
menemukan hukum-hukum tadi.
Oleh
sebab itu , dalam teori politik bukanlah keharusan, bahwa sesuatu yang
baru mempunyai sifat yang baik dan
sesuatu yang sudah lama bukan pula sesuatu yang lemah. Fakta teori politik,
sekiranya itu ada belum pernah ada sebelumnya, cenderung menimbulkan praduga
dan bukan dukungan terhadap keandalannya. Sebaliknya, kenyataan teori politik sudah dikembangkan
beratus bahkan beribu tahun yang lalu seperti halnya dengan teori perimbangan
kekuasaan (balance of power) tidak
menimbulkan praduga, bahwa teori itu tentunya sudah ketinggalan zaman dan
usang. Teori politik harus tunduk pada uji-ganda atas cara berpikir dan
pengalaman.Berartih bukanya menyajikan argument yang rasional, akan tetapi
praduga yang sesuai dengan zaman sekarang ( modernistik ), yang menanggap sudah
semestinya keadaan sekarang mengunggli keadan masa lampau.
Untuk
realisme, teori terdiri pemastian fakta dan pemberian artih melalui kemampuan
berpikir. Realisme menganggap, bahwa sifat politik luar negeri hanya dapat
dipastikan melalui pemerikasan tindakan-tindakan politik yang dilakukan dan
akibat yang dapat diduga dari tindakan-tindakan itu. Dengan demikian,
kita dapat mengetahui apa yang sesungguhnya dilakukan oleh para negarawan, dan
dari akibat tindakan-tindakan mereka
yang dapat diduga, kitapun dapat mengira apa yang mungkin menjadi tujuan
mereka.
Kedua,
Petunjuk utama realisme yang membantu realisme politik untuk menemukan jalannya
melintasi bentangan alam politik internasional ialah konsep kepentingan yang
diartikan dalam istilah kekuasaan[11].
Konsep ini merupakan penghubung antara pemikiran yang berusaha memahami politik
internasional dan kenyataan yang harus dipahami. Konsep ini menentukan politik
sebagai lingkungan tindakan dan pengertian yang berdiri sendiri (otonom) terpisah dari lingkungan lainnya. Seperti
ilmu ekonomi (dipahami dalam arti kepentingan yang didefinisikan sebagai
kekayaan), etika, estetika, atau agama. Tanpa konsep demikian, teori politik,
internasional atau dalam negeri sama sekali tidak akan mungkin. Tanpa konsep
kita tidak dapat membedakan antara fakta politik dan non-politik, dan kita tidak dapat pula membawa,
sekurang-kurangnya sesuatu taraf keteraturan sistemik untuk lingkungan politik.
Kita
menganggap, bahwa negarawan berpikir dan bertindak dalam pengertian
kepentingan yang didefinisikan sebagai
kekuasan, dan bukti sejarah menguatkan anggapan itu. Anggapan tersebut memungkinkan kita untuk menyelidiki kembali dan membayangkan, sedikit banyaknya
langkah-langkah negarawan di kancah politik dimasa lampau, masa sekarang, atau
masa depan yang telah atau akan diambilnya.[12]
Dengan berpikir dalam istilah kepentingan yang didefinisikan sebagai kekuasaan,
kita berpikir seperti negarawan itu dan sebagai penagamat yang tidak berat
sebelah, mungkin kita dapat memahami pemikiran dan tindakannya dengan baik
dibandingkan kalau ia sendiri, yang melakukannya sebagai pemeran di pentas
internasional.
Memang
benar bahwa pengetahuan tentang alasan
negarawan dapat memberikan kepada kitasalah satu dari banyak petunjuk tentang
kemungkinan arah politik luar negerinya.
Akan tetapi justru tidak dapat memberikan kepada kita yang satu itu untuk
meramalkan politik luar negerinya, Sejarah tidak menunjukan korelasi (hubungan)
yang pasti dan penting antara kualitas motif dan kualitas politik luar negeri.
Politik peredaan (appeasement) yang
dilakukan oleh Neville Chamberlain,
sejauh dapat kita nilai , diilhami oleh motif yang baik ia mungkin lebih
sedikit didorong oleh perimbangan kekuasaan pribadi dibandingkan dengan banyak
perdana menteri Inggris lainnya.
Politik
Internasional menurut penganut realis, akan menghindari pula pemikiran yang
keliru lainnya yang digemari untuk menyamakan dengan politik luar negeri
negarawan dengan simpatinya yang filosofis ataupun politis, serta kesimpulan
umum yang ditarik dari awal ke yang terakhir.[13]
Realisme politik tidak memerlukan dan
tidak pula mengampuni, sikap tidak acuh terhadap cita – cita politik dan prinsip moral, akan tetapi realisme
politik memang memerluhkan perbedaan
tajam antara yang diinginkan dan yang mungkin. – antara yang diinginkan dimana
dan kapan saja, dan mungkin menurut
keadaan waktu dan tempat yang konkret.
Sudah
sewajarnya, kalau semua politik luar negeri tidak selalu mengikuti arah yang
begitu rasional, objektif, dan tanpa emosi. Unsur-unsur yang berupa kemungkinan
seperti kepribadian, praduga dan kesenangan subjektif, serta semua kelemahan
intelek dan kehendak yang merupakan warisan insani, pasti akan membelokan arah
politik luar negeri dari arahnya yang rasional. Terutama , kalau politik luar
negeri dijalankan dalam kondisi pengendalian yang demokratis, maka kebutuhan
mengalang emosi rakyat untuk mendukung politik luar negeri, tidak boleh gagal
untuk menghalangi rasionalitas politik luar negeri itu sendiri.
Namun
teori politik luar negeri yang bertujuan rasionalitas, boleh dikatakan , untuk
sementara harus dipisahkan dari unsur-unsur yang tidak rasional. Penyimpangan
rasionalitas yang bukan merupakan hasil tingkah laku pribadi atau psikopatologi
dari pembuat kebijakan,hanya mungkin kelihatan dari posisi yang menguntungkan
rasionalitas, akan tetapi penyimpangan itu sendiri, mungkin merupakan unsur
dari sistem yang saling berkaitan ( koheren ) dari keadaan yang tidak masuk
akal.[14]
Kemungkinan, boleh dikatakan, untuk menyusun sebuah teori tandingan dari
politik yang tidak berdasarkan akal sehat. Kalau kita membayangkan perkembangan
pemikiran orang Amerika tentang politik luar negeri, kita terkesan atas
kegigihan sikap keliru yang dapat bertahan – dengan kedok apapun – argumen
intelektual maupun pengalaman politik. Begitu keajaiban itu dalam gaya
Aristoteles yang asli diubah menjadi pencarian untuk pengertian rasional.
Ketiga, Realisme menganggap, bahwa konsep
utamanya tentang kepentingan, yang ditegaskan sebagai kekuasaan merupakan
kategori objektif yang berlaku secara universal, tetapi tidak memberi sifat
pada konsep itu dengan artih yang sudah
ditentukan secara definitif. Ide kepentingan merupakan intisari politik dan
tidak terpengaruh oleh keadaan waktu dan tempat. Pernyataan Thucydides, yang berasal dari
pengalaman Yunani kuno, bahwa “identitas kepentingan, merupakan ikatan yang
paling kuat, apakah antara negara atau perorangan” dipakai diabad ke-19 dalam ucapan Lord Salisbury, bahwa “satu satunya ikatan perserikatan yang
bertahan lama” diantara bangsa-bangsa ialah : tidak adanya kepentingan yang
berbenturan seluruhnya.
Pernyataan
ini dimuat oleh George Washington di
dalam prinsip umum pemerintahan. Max
Weber dalam kutipannya menjelaskan bahwa
“kepentingan ( material dan ideal
), bukan ide – ide, langsung menguasai tindakan manusia. Namun citra dunia yang
diciptakan oleh ide – ide itu sering bertindak sebagai tombol yang menentukan
jalur untuk ditempuh oleh dinamisme kepentingan supaya selalu bergerak.[15]
Realisme politik, tidak menganggap bahwa keadaan yang kontemporer yang ada
disaat politik luar negeri, diselenggarakan dengan ketidakmantapan yang
mencolok dan ancaman kekerasan yang selalu ada secara besar-besaran, tidak
dapat diubah.
Kalau
seorang realis memang percaya, bahwa kepentingan merupakan norma yang
berlangsung terus dan yang dipakai untuk menilai serta mengarahkan tindakan
politik, hubungan kontemporer antara kepentingan dan negara bangsa, merupakan
produk sejarah, dan oleh sebab itu harus lenyap dalam perjalanan sejarah. Kaum
realis diyakinkan bahwa perubahan ini hanya dapat dicapai melalui manipulasi
yang rapih dari kekuatan-kekuatan yang bertahan lama yang telah membentuk masa
lampau sebagaimana pula akan membentuk masa depan. Kaum realis tidak dapat dipengaruhi bahwa kita
dapat mengadakan perubahan itu dengan menentang realitas politik yang mempunyai
hukum-hukumnya sendiri dengan cita-cita abstrak yang menolak memperthitungkan hukum – hukum tersebut.
Keempat, Realisme politik menyadari
pentingnya moral dari tindakan politik. Realisme politik menyadari pula,
ketegangan yang tak bisa dihindarkan antara perintah moral, dan syarat-syarat
dari tindakan politik yang berhasil. Realisme politik tidak mau mengabaikan
atau melenyapkan ketegangan tersebut, dan dengan demikian mengaburkan baik
masalah moral maupun politik, dengan menampilkan seolah–olah fakta politik yang keras secara moral lebih
memuaskan daripada keadaan yang sebenarnya. Dan hukum moral yang kurang tepat menurut keadaan
sesungguhnya.[16]
Realisme politik mempertahankan bahwa
prinsip moral yang universal tidak dapat diterapkan pada tindakan tindakan negara perumusan universal mereka yang
abstrak, akan tetapi akan tetapi harus disaring melalui keadaan, waktu, dan
tempat yang konkret.
Kita
dapat menyatakan pada diri kita sendiri
: “Fiat justitia ,pereat mundus”(Biarkan
keadilan berlaku sekalipun dunia binasa”. Realisme meganggap kebijaksanaan
pertimbangan atas konsekuensi alternate
tindakan politis – sebagai kebajikan tertinggi dalam politik. Etika secara
abstrak menilai tindakan menurut kecocokannya dengan hukum dan moral politik
menilai tindakan konsekuensi politiknya. Filasafat klasik dan abad pertengahan mengenal ini dan begitu pula Lincoln
ketika ia berkata:
“Kulakukan kuketahui sungguh terbaik, yang menurut
kempuanku sungguh terbaik dan aku
bermaksud untuk berbuat demikian sampai detik terakhir. Jika pada akhirnya
membawahku pada yang benar, apa yang dikatakan padaku tidak berartih apapun. Tetapi jika membawahku pada yang
salah, walau sepuluh malaikatbersumpah bahwa aku benar, tidak berartiha
apa-apa.”
Kelima, Realisme politik menolak
mengidentifikasi cita cita moral bangsa tertentu,
dengan hukum hukum moral yang menguasai alam semesta. Seperti realisme politik
mengadakan kebenaran antara kebenaran dan opini, demikian juga dibedahkannya
antara kebenaran dan pemujaan yang berlebihan. Semua bangsa tergoda dan sedikit
yang mampu menahan godaan untuk waktu yang lama untuk menutupi cita cita dan
tindakan khusus mereka sendiri dalam tujuan moral alam semesta.Untuk mengetahui bahwa bangsa-bangsa tunduk
pada pada hukum moral adalah satu soal,
sedangkan berpura-pura mengetahui dengan pasti apa yang baik dan apa yang
jahat. [17]
Dalam
hubungan antara bangsa – bangsa, adalah lain sama sekali. Terdapat perbedaan
yang banyak sekali antara kepercayaan, bahwa semua bangsa tunduk pada keputusan
Tuhan, sukar dimengerti oleh pikiran manusia dan keyakinan, yang bersifat
penghinaan dan tidak benar, bahwa Tuhan selalu ada disisi seseorang. Dan apa
yang diinginkan seseorang, pasti akan diputuskan oleh Tuhan juga. Sebaliknya,
justru konsep kepentingan yang ditegaskan
dalam artih kekuasaan, yang menyelamatkan kita dari akses moral atau
kebodohan politik, sebab kalau kita melihat pada semua bangsa, termasuk kita
sendiri, sebagai wujud politik yang mengejar kepentingan mereka masing - masing
yang ditegaskan dalam artih kekuasaan.
Keenam, Perbedaan antara realisme
politik, dengan mazhad pemikiran lain adalah
nyata dan menyeluruh. Akan tetapi banyak dari realisme politik mungkin disalah
artihkan dan disalah tafsirkan, tidak
ada yang menyangkal sikap intelektual dan moralnya yang khusus, terhadap
masalah yang bersifat politik.[18]
Secara
intelektual kaum realis mempertahankan otonomi dunia politik.
Kaum realis dalam politiknya, bukan tidak menyadari
eksistensi dan relevansi mengenai politik. Sebagai seorang realis dalam
politik, ia terpaksa menempatkkan norma lain tadi, lebih rendah dari norma
politik. Dan ia melepaskan mazhad lain, kalau mazhad itu memaksaklan standar pemikiran dunia politik
yang sesuai dengan dunia lainnya. Disini realisme tidak sependapat dengan
“pendekatan legalistik moralistik” (menurut hukum dan moral) terhadap politik
internasional.
Jadi teori yang mencoba
memahami politik internasional, menurut
keadaan sebenarnya dan sebagaimana seharusnya
berhubungan dengan hakikat intrisiknya, dan bukan sebagaimana individu ingin
melihatnya harus mengatasi perlawanan psikologi.[19]
Realisme politik yang menyamakan power dengan kekuasaan juga dapat dikatakan
kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang
atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku.[20]
Akan tetapi para Sarjana lain mengatakan kekuasaan sebagai inti dari politik,
karena politik adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah memperebutkan dan
mempertahankan kekuasaan. Biasanya dianggap perjuangan kekuasan (power
struggle) ini mempunyai tujuan yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat.
C . Realisme Dalam Hubungan Internasional
Dalam
hubungan internasional salah satu yang paling esensial adalah power, dimana
konsep ini banyak diimplementasikan dalam lingkungan politik internasional yang
berkembang pasca perang dunia II.[21] Sehingga power merupakan pendekatan yang banyak
berpengaruh dalam hubungan internasional. Para realis memperlakukan state sebagai aktor yang rasional yaituh
mengikuti prinsip mengejar, melindungi, dan mempertahankan kepentingan
nasionalnya, yang didefinisikan sebagai kekuasaan sesuai dengan kemampuan dan
keterbatasannya di dunia internasional.[22]
Berdasarkan
hal ini, tidak perluh ada analisis tentang
politik luar negeri negara-negara itu, karena ia otomatis sudah
dijelaskan oleh asumsi power dan juga anarkhi dalam dunia internasional, atau
dengan kata lain negara tidak punya pilihan lain dalam menentukan politik luar
negeri. Walaupun demikian, sekecil apapun peran negara, mereka tetap melakukan
dan memutuskan suatu kebijakan untuk memaksimalkan kepentingan nasional mereka.[23] Karena
itu kita tetap perluh membahas pilihan - pilihan negara, walaupun terbatas pada
menu yang memang sudah disediakan dan semacam sudah tertulis dalam struktur
internasional.[24]
Menurut
E.H.Carr realisme itu ada, karena
merupakan reaksi terhadap idealisme, yang menghasilkan sejumlah karya yang
sangat berpengaruh dalam hubungan internasional yang menandai munculnya
realisme. Carr mengkritik terhadap asumsi idealisme, dengan alasan bahwa
peristiwa tragis pada tahun 1930-an, menjadi saksi kerapuhan lembaga-lembaga
internasional.[25]
Thucydides mengatakan bahwa ide-ide
yang membimbing dan asumsi-asumsi realisme berakar dalam tradisi pemikiran
masyarakat pada perang negara kota Yunani dari Athena dan Sparta. Thucydides mengunakan perang untuk
menunjukan bagaimana kekuasaan logika mengejar kekuasaan dan kepentingan
nasional. Karakter antar bangsa dan konflik lebih dominan daripada kerjasama
atau tindakan yang dipandu oleh prinsip moral yang tinggi.[26] Teori
realisme dalam buku “ International
Relation Perspective and Times” memiliki asumsi-asumsi sebagai berikut :
(1) pada dasarnya manusia adalah egois, negara seperti manusia yang bertindak
dengan cara sendiri; (2) Negara merupakan aktor sentral. Oleh karena itu studi
hubungan internasional adalah studi tentang negara dan bagaimana mereka
berinteraksi.[27]
Dua
hal penting yang dikatakan tentang negara ialah : (a) kedaulatan negara. Untuk
itu kedaulatan adalah kunci dalam konsep hubungan internasional; (b) kebijakan
negara menjadi motivasi oleh kepentingan nasional. Mereka melakukan kebijakan
luar negeri untuk mencapai tujuaan ini; (3) power merupakan kunci untuk
memahami perilaku internasional dan motivasi negara; (4) hubungan internasional
tak bisa terpisahkan dengan konflik. Klaim ini menjadi salah satu dasar dari tiga
alasan yang berbeda;[28]
(a)
manusia menjadi egois dan bertindak berdasarkan keinginan sendiri sehingga
menyebabkan kerusakan dan menyebabkan konflik. Manusia pada hakekatnya tidak
berubah dan tidak ada bentuk prospek yang akan berubah dar perilaku manusia;
(b) pada tingkat negara, hubungan dibangun sedemikian sehingga untuk mencapai
kepentingan nasional dan mengarahkan pada perselisihan nasional ( sewaktu
perang ) dengan negara lain; (c) masalah bukan salah satu sifat alami manusia,
tetapi pusat kekuasaan dalam dunia internasional.[29]
Menurut
Dunne dan Schmidt asumsi-asumi
realisme dikelompokan dalam 3S : statism,
survival, self-helps. Mereka menyatakan bahwa state adalah aktor utama dalam hubungan internasional yang
anarkhis. Asumsi ini berasal dari kenyataan bahwa untuk survive dan mencapai level subsistem manusia perluh hidup bersatu
berdasarkan suatu solidaritas kelompok[30]. Sementara
itu, aktor-aktor yang lain dinilai kurang penting. Negara sebagai satu
komunitas politik yang independen, mempunyai kedaulatan terhadap suatu wilayah
dalam dunia yang anarkhis.[31]
Perluh dijelaskan bahwa anarkhis bagi realis bukan keadaan benar-benar chaos dan tidak ada aturan, tetapi
ketiadaan kekuasaan sentral.[32]
Realis
tidak percaya pada universalitas moral; kalaupun ada, itu hanya berlaku relatif
untuk suatu masyarakat tertentu saja. Dengan kata lain dalam pandangan Wohlforth, negara seringkali harus
bertindak egois, terutama bila dihadapkan pada kepentingan diri dan kepentingan
kolektif. Ini juga merupakan sifat dasar manusia sebagaimana diungkapkan dalam
adagium klasik realis : Inhumanity is
just humanity under pressure (kekejaman berarti kemanusian berada di bawah
tekanan).[33]
Dalam keadaan yang anarkhis ini, tiap negara harus menolong dirinya sendiri (self-helps). Negara tidak boleh percaya
pada negara lain atau organisasi internasional, tapi harus mencari cara
sendiri, terutama meningkatkan kekuatan militernya. Karena struktur
internasional tidak mengizinkan adanya persahabatan, kepercayaan, dan
kehormatan, yang ada hanyalah kondisi ketidakpastian yang abadi.[34]
C. Karateristik Politik Luar Negeri
Indonesia
Politik luar negeri merupakan
suatu pola kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan untuk beradaptasi dengan
lingkungan internasional. Lingkungan internasional itu bisa berupa negara lain,
situasi internasional, maupun badan - badan internasional.[35] Menurut
Modelski, politik luar negeri merupakan sistem aktivitas suatu negara untuk
mengubah perilaku negara lain, dan untuk mengatur aktivitas negara itu sendiri
dalam linkungan internasional. Politik luar negeri, mempelajari faktor – faktor
internal dan eksternal yang mempengaruhi formulasi tindakan, sikap, atau
kebijaksanaan suatu negara terhadap lingkungan internasional.
Politik luar negeri Indonesia,
[1] Abubakar Eby. Hara, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri dari
Realisme sampai Konstrutivisme (
Bandung : Nuansa, 2011 ), hal.38
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid,hal.39
[5] Op.Cit
[6] Op.Cit hal.35
[7] Ibid,hal.36
[8] Ibid.
[9] Abubakar Eby.Hara, ibid, hal.37
[10]Hans.J.Morgenthau, Politik antar bangsa, (Jakarta:Yayasan
Pustaka Obor Indonesia,2010), hal.4
Yang
dimaksud oleh Morgenthau ialah dia menyamakan antara realisme dengan masyarakat
dimana dalam setiap aktivitas dikendalikan oleh hukum-hukum , untuk itu sangat
penting untuk kita memahami hukum dahulu dalam melakukan suatu kegiatan. (
politik luar negeri ataupun politik internasional ).
[11] Ibid,hal. 5
[12] Hans.J.Morgenthau, ibid, hal.6
Maksud
dari kutipan tersebut ialah apabila kamu ingin memahami tentang kebijakan yang
diambil oleh seorang pemimpin dalam implementasi politik luar negeri maka kamu
juga harus berpikir sebagai pemimpin yang sedang membuat kebijakan dalam
melakukan politik luar negeri.
[13] Ibid, hal .7
[14]Ibid, Hal.8
[16] Ibid,hal.14
[17]Hans. J. Morgenthau,Ibid,hal.15
[18] Hans. J. Morgenthau,Ibid,hal.16
[19] Ibid,hal.19
Maksudnya
adalah bahwa teori politik internasional merupakan teori yang tidak
mengedepankan prinsip legalitas
moralistik dalam mencapai tujuan nasional untuk itu teori politik internasional
harus berlawanan dengan psikologis dan hal itu secara realitas terjadi dalam
hubungan internasional Raja Louis ke XI
ketika mengirim Dutabesar ke Inggris ia berpesan “apabila mereka
membohongimu,perhatikanlah itu dan berbohonglah lebih daripada mereka”.
[20] Miriam.Budiarjo,Dasar-dasar ilmu politik, (Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama,2008),hal.18
[21] Umar.S.Bakry,Pengantar hubungan internasional,(Jakarta:Jayabaya University
Press,1999),hal.64
[22] Abubakar Eby.Hara,ibid.hal.34
Maksudnya
adalah bahwa dalam implementasi politik luar negeri setiap negara tak perluh
dianalisis karena hal itu berlaku secara otomatis yang berkonsentrasi pada
power dalam dunia yang anarkhis tampa tidak memperhitungkan luas wilayah dari
negara tersebut , karena yang paling fundamental ialah power yang dimilikinya yang
mempengaruhi politik luar negerinya.
[23] Ibid, hal 35
[24] Ibid
[25] Jill Steans & Lloyd Pettiford, International Relation Perspective and
Times (Malaysia:LSP,2001), hal.24
[26] Ibid, hal.26
[27] Ibid, hal.28
Negara
merupakan aktor yang paling penting dalam interaksi internasional karena negara
memiliki kedaulatan yang bisa melakukan hubugan internasional dengan negara
lain.
[28] Ibid, hal.28
[29] Ibid,hal.29
[30] Abubakar Eby. Hara, Ibid, hal.35
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Ibid, hal. 36
[34] Ibid.
[35] Umar.S.Bakry, Ibid, hal.125
Tidak ada komentar:
Posting Komentar